Senin, 07 Januari 2008

Jangan Tiru Saya

Ini booklet yang dikeluarkan oleh Yogyakarta International Hospital, terapinya di Tiongkok. Sedang diiktiarkan oleh Aryo Pramono anaknya Mas Darwito Seno.

Darwito 6 Jan 2008

Bertemu dengan seseorang yang lebih dari 37 tahun tidak pernah berjumpa, apalagi dalam kondisi sakit parah mungkin jarang dialami. Setelah mengikuti perayaan Ekaristi di Katedral Semarang, bersama Isteri saya menuju ke Salatiga. Takan Lor Pabelan bukan desa yang terkenal, tapi karena diancar-ancar oleh Darwito maka mudah juga menemukan walaupun mesti beberapa kali bertanya. Seratus meter setelah rumah makan ikan bakar kearah Barat, ada kantor Kecamatan belok ke Selatan kemudian tanya tanya dan sampai ke rumah ASRI milik Aryo Pramono anak pertama Darwito.

Berulang kali Darwito mengungkapkan perasaan terima kasih kepada teman-teman ATMI yang mendukung pengobatannya baik secara moril maupun material. Ia mengatakan tidak mau di kemo, karena menurut dia mau mengobati kok semua tubuhnya di serbu, temannya juga menasehati untuk jangan kemo.

Kejadia ini dimulai 6 bulan lalu, ujar Haryo. Pernah berada 1 minggu di rumah sakit, tapi didiamkan saja karena dokter berdiskusi, dan kita harus bayar terus. Akhirnya pernah dilakukan kemo setempat. Memasukan selang dan setelah itu muntah tidak bisa makan. Sejak itu ia semakin parah. Berat badannya turun sampai 13 kg.

Darwito Seno lahir, 30-Mar-45 mendapat nomer urut 3, waktu masuk ATMI. Ia juga menjadi alumni ATMAJAYA karena pindah ke ATMI pada tahun 1968. Sebagai orang yang sering “kecewa” dalam hidupnya ia berulang kali pesan, “tolong sampaikan kepada teman- teman jangan tiru saya” Pengalanan masa kecilnya, membekas sampai sekarang. Ia menyadari sikap dan perilakunya tidak baik, namun sering muncul sebagai ekspresi alam bawah sadar. “Saya dulu diasuh orangnya secara keras. Saya orangnya tukang berantam, dan selalu kena cambuk dari orang tua waktu usia SD sampai SMP. Oleh karena itu saya gampang tersinggung, ini karena latar belakang keluarga orang tua yang keras” Ia mengatakan, bahwa pengalaman pindah kerja 14 kali biasanya dipicu karena sikap angkuh dan egoisnya. “Saya keluar biasanya setelah bentrok dengan direksi” Ia pernah bekerja di Satyawacana, Kwik Motor, Battery Efferedy, Kaharjaya, Komajaya, Autoligh, Lippo Insurance, lainnya sudah ia lupa. “Pernah ke Palembang dan bekerja di pabrik plastik. Karena yang lain keluar, akhirnya saya juga ikut keluar karena solider” Ia lalu bekerja di pabrik knalpot mobil velk, terakhir kerja sama dengan Oenlok, kerja oli.

“Setiap kali kalau ada anak-anak ATMI muda yang datang, saya lalu menyebutkan teman-teman yang berhasil dan jangan tiru saya. Cara hidup saya keliru, suka pindah kerja, ini membuat pengalaman pahit dan tidak fokus. Pernah punya simpanan aset, rumah mobil, lalu saya menjadi tinggi hati dan sombong. Saya pernah keluar dari perusahaan karena di kup karyawan. Saya sudah manager teknik, dan karena saya jengkel, ketika saya dikasi penangon oleh orang bule, sambil berjalan pergi saya marah marah dan tidak mau terima pesangonnya. Ini sifat egois dan sombongnya saya, jadi sekarang saya minta anda semua kalau bekerja bekerjalah dengan bersyukur dan selalu berterima kasih atas apa yang kita terima sebagai berkat dari Allah. Hanya beberapa tahun setamat ATMI saya sudah menjadi supervisor dan dalam waktu singkat sudah punya rumah pula. Kondisi menjadi tidak beres sejak cerai, 22 tahun lalu dan semuanya menjadi berubah, usaha apa saja menjadi tidak bisa berkembang dengan baik” Ketika berwawancara, Darwito beberapa kali batuk.

Aryo Pramono, anak sulungnya juga tamatan ATMI XXVIII, mencari informasi ke Yogyakarta International Hospital. Anak yang berbakti ini berencana membawa ayahnya ke Tiongkok, biasanya sekitar Rp. 60 juta. Di Tiongkok, ada sistim pengobatan, bukan kemo tetapi terapi pada lokasi yang kena penyakit.

Angkatan pertama, masih lengkap tetapi beberapa sudah pada sakit sakitan. Kami sempat menyebut Mas Suparmo SJ. ”Saya tidak menyangka, teman- teman mau membantu saya, sejauh ini jumlah uang dari teman-teman lebih dari Rp 30 juta, bahkan seorang teman membantu saya Rp 10 juta. Saya hanya bisa menyampaikan terima kasih, semoga Allah membalasnya” ujarnya. Ia juga berharap kesetiakawanan ini dilanjutkan. Tidak ada satupun dari kita yang menginginkan mengidap penyakit, namun kalau sudah kena, biayaya tidak sedikit, baik kalau ada uang kalau tidak apa yang bisa kita lakukan. Dan bantuan yang datang dari teman-teman ATMI sungguh sangat membantu. Anaknya yang ikut mendampangi ketika ngobrol, Aryo Pramono dan Adhi Prasetya menyampaikan pula terima kasih atas semua perhatian dan bantuan kepada ayahnya. Anak bungsunya Asto Prionggo ada di Jakarta. .

Tidak ada komentar: