Selasa, 28 Agustus 2012

Solo Pos


MENGENANG ROMO CASUTT: Menjual Sendiri Karya Para Siswanya

Sabtu, 25/8/2012 19:04 | Algooth Putranto/JIBI/Bisnis Indonesia

Dunia pendidikan, khususnya pendidikan teknik, ditinggalkan Romo Johann Balthazar Casutt SJ, yang meninggal dunia dalam usia 86 tahun, Jumat (24/8/2012). Sang Romo dikenal sebagai pendiri SMK St Mikael dan Akademi Teknik Mesin Indonesia (ATMI) di Karangasem, Solo.

Perjalanan hidup biarawan Ordo Jesuit ini sangat menarik untuk dilihat. Laki-laki kelahiran Horgen, Swiss, 24 Januari 1926 ini menamatkan pendidikan dasarnya diselesaikan di Horgen, Zurich, Swiss, hingga kelas enam, lalu pindah ke sekolah asrama di desa turis Engelberg yang dikelola Ordo Benediktin.

Selama delapan tahun Casutt belajar di situ hingga lulus dari Gymnasium dan pindah ke Chur pada1945 untuk belajar filsafat dan teologi. Tahun kedua dia ikut retret agung dari Ignatius Loyola. “Saya merasa terpanggil untuk masuk ordo Jesuit dan berkarya di tanah misi. Tentu saja orang tua tidak begitu senang dengan pilihan saya, toh [mereka] tidak menghambat,” ujarnya.

Masa novisiat (suatu proses menjadi rohaniwan Jesuit) dijalaninya di Rue, Fribourg, selama dua tahun. Sekitar 1949 dia dikirim ke Inggris untuk belajar filsafat selama tiga tahun. Sesudah itu Casutt harus ke India namun visanya ditolak. Dia kemudian belajar teologi di Eegenhoven, Belgia.

Pada akhir 1955, Casutt ditahbiskan menjadi imam dan dikirim untuk tahap pendidikan terakhir ke Muenster, Westphalia, Jerman. Di situ dia menerima surat dari provinsial (pimpinan biara) yang menawarkan Indonesia sebagai tempat kerja. Dua tahun kemudian dia berangkat ke Indonesia. Dalam perjalanan menuju Indonesia dia sempat mengunjungi India selama 14 hari, ke daerah Pune yang saat itu mengalami musim kemarau.

“Semua kering, tidak ada yang hijau dan di mana-mana ada debu. Saya ingat ketika kapal terbang melayang di atas Jakarta, saya merasa lega karena di mana-mana hijau,” ungkapnya dalam sebuah wawancara dengan Bisnis.com. Untuk beberapa hari dia tinggal di Kolese Kanisius dan meneruskan perjalanan ke Jogja untuk belajar bahasa Indonesia, lalu pindah ke Mertoyudan, Magelang, dan tinggal selama delapan tahun.

Pada 1962, Casutt mulai mengurus izin sebagai WNI tetapi terkatung-katung cukup lama. Sekitar 1965 dia pindah lagi ke Asrama Mahasiswa Realino di Jogja. Hingga pada 1971 dia harus meninggalkan dunia mahasiwa dan mengambil alih pimpinan STM dan ATMI St Mikael dari Romo Chetelat. “Terus terang saya merasa berat tanggung jawab yang harus dipikul. Karena saya tidak disiapkan untuk itu. Tanggung jawab besar, karena sekolah itu disiapkan dengan cukup banyak uang,” tuturnya.

Selama 29 tahun dia memimpin sekolah itu. “Dari 75 mahasiwa kami mengembangkannya sampai lebih dari 300 mahasiswa. Dari sekolah yang defisit hingga menjadi sekolah yang mandiri dan untung,” katanya. Casutt, yang senantiasa meyakini kemampuan murid-muridnya, pernah langsung turun tangan memasarkan hasil karya siswa ATMI dengan menumpang mobil bak terbuka ke daerah Glodok, Jakarta.

Akhir 2000, dia menyerahkan pimpinan ATMI kepada Romo Triatmoko. Tampaknya dia memang tak punya pilihan karena kondisi kesehatannya menurun. Sejak akhir 2004 dirinya terkena stroke. “Menurut saya ini suatu tanda bahwa saya harus berhenti dan meninggalkan sekolah ini kepada orang yang lebih muda,” katanya.

http://www.solopos.com/2012/pendidikan/mengenang-romo-casutt-menjual-sendiri-karya-para-siswanya-321917

Romo Casutt SJ, pendidikan demi kemajuan negeri

Kamis, 30/6/2011 05:17

Johann Balthasar Casutt SJ, demikian nama lengkap laki-laki kelahiran Swiss 85 tahun silam itu.

Bagi orang awam, nama Romo Casutt, panggilan akrabnya, memang asing. Namun orang pasti tak asing dengan sekolah teknik ATMI atau SMK Santo Mikael yang berlokasi di kawasan Karangasem, Solo. Nah, Romo Casutt adalah salah satu orang yang berperan penting dalam merintis dan mengembangkan sekolah yang berdiri sejak tahun 1968 itu. Sekolah ini mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah Swiss beserta organisasi sosial di Swiss dan Jerman.

Mengulas tentang Romo Casutt, seolah tak bisa dipisahkan dari tema dunia pendidikan. Kontribusi dan kerja kerasnya tak hanya diakui di tingkat nasional tapi internasional. Buah hasil kerja keras ini tak lain berupa kepercayaan dari luar negeri guna mendukung misinya mengembangkan pendidikan yang bermanfaat bagi anak negeri.

Bertolak dari Swiss pada 1957, gelora Casutt tertuju pada Indonesia. Dia mengungkapkan misi besar kala menahkodai bendera SMK Mikael dan ATMI tak lain adalah menyiapkan pelajar sigap dan siap menjawab tantangan dunia usaha. Tentunya ini bukan kerja gampang. Casutt yang tak memiliki kemampuan di bidang teknik harus belajar dan mempersiapkan tenaga ahli yang berkompeten di bidangnya.

Praktis, bengkel mesin yang berisi perangkat alat berat bak sebuah kawah candradimuka yang nantinya melahirkan perintis muda di bidang industri. “Saya ingin anak muda punya keterampilan di bidang industri, sehingga kekayaan alam dapat diolah dengan kemampuan anak negeri,” ungkapnya singkat.

Sosoknya yang lembut, tak banyak bicara seolah menunjukkan bahwa ia adalah orang yang ingin lebih banyak bekerja. Mengemban tugas sebagai misionaris atau imam Katolik yang mengemban misi di Indonesia, bukanlah hal mudah. Tapi kemauannya mengawali di Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang jadi langkah nyata. Dia mengatakan mulai dari masanya menjadi guru bahasa Inggris hingga kini tertambat di ATMI semua membutuhkan totalitas. “Saya dulu ingin ke India tapi seiring perjalanan saya justru berlabuh di Indonesia hingga sekarang,” kata dia.

Menjadi sosok penting di dunia pendidikan seperti sekarang ini mungkin jauh dari mimpi Casutt kecil. Dia mengatakan sedari awal sudah bercita-cita sebagai seorang yang taat beragama dan ingin mempelajari ilmu agama. “Pilihan saya kala itu adalah menjadi imam yang bermanfaat bagi banyak orang,” ulasnya.

Keinginan menjadi imam kala itu terus tersimpan dibenak Casutt hingga dewasa. Dia pun merasa yakin dengan kemauannya kala berkesempatan belajar di Kolese Engelberg. Diungkapkan Casutt, tak sedikit kawannya kala itu yang kemudian melanjutkan pendidikan di bidang filsafat atau bidang lain seperti bidang hukum dan teknik. “Saat itu saya sudah teguh ingin menjadi seorang imam dan tak ingin melanjutkan di bidang lainnya,” ulas dia.

Beranjak dari Engelberg, dirinya meneruskan studi ke Seminari Tinggi di Keuskupan Chur, Swiss. Casutt mengungkapkan di tempat ini dirinya banyak belajar mengenai teologi. “Setelah dari Engelberg saya melanjutkan ke Rue, Novisiat Serikat Jesus,” jelasnya. Dia mengungkapkan saat tiba di Indonesia, dia merasa perlu bahu membahu mengembangkan di bidang pendidikan, mengingat bangsa Indonesia baru menghirup kemerdekaannya. Menurutnya, jika ingin lekas bangkit semua warga negara harus berpendidikan. “Saya mendermakan semua ilmu pengetahuan yang saya miliki untuk negara ini,” tegas dia.

Dina Ananti Sawitri Setyani

http://www.solopos.com/2011/tokoh/romo-casutt-sj-pendidikan-demi-kemajuan-negeri-104877

Tidak ada komentar: