: ”Terus terang ATMI
belajar banyak dari orang orang Swiss yang pernah bekerja dan memimpin di ATMI.
Mereka memiliki tradisi disiplin tepat
waktu dan bekerja dengan tingkat presisi tinggi. Hemat saya, soal waktu itu adalah suatu
konvensi yang melibatkan orang lain
sebagai sebuah perjanjian. Maka kalau kita telat maka kita harus membayarnya”
Apapun alasannya janji tetap
janji, siapapun harus mentaatinya. (Tulis Romo Riyo dalam biography Romo Casutt SJ.
Jesuit belum memikirkan melebarkan pendidikan
seperti ATMI dan PIKA di luar Jawa.
Seperti membangun PIKA di Nabira (Irian
Jaya) atau Kalimantan dan ATMI di Medan. Serikat Jesuit sama sekali tidak berpikir
kearah itu. Justru disini Jesuit
melihat belum di pahaminya ide mendasar
dari Jesuit. Orang lain baru melihat apa
yang Jesuit lakukan itu baik, tetapi mereka
mengharapkan yang melakukan
Jesuit juga. Padahal kita berharap kalau melihat apa yang dilakukan
Jesuit itu baik adanya, maka lakukan
juga tanpa Jesuit di tempat lain. Di harapkan
kebaikan kebaikan seperti itu bisa
seperti penyakit menular. Harus
disadari pula bahwa panggilan menjadi seorang Jesuit setiap tahun semakin sedikit. Tentunya hal ini
mempengaruhi keterbatasan pada sumber daya Jesuit. Sehingga diharapkan, yang sudah melewati pintu pendidikan Jesuit, ikut berpikir bagaimana
bisa berguna bagi orang lain, itulah
yang di ucapkan oleh Pedro Arrupe SJ “Man and Women for Others” (Romo Riyo dalam buku biographi Romo Casutt SJ)
Sebagai pimpinan Serikat Jesus Indonesia, beliau merasa kehilangan. Sekarang tinggal dua orang asal Swiss yang berkarya di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar