MENGENANG ROMO CASUTT: Menjual
Sendiri Karya Para Siswanya
Sabtu, 25/8/2012 19:04 | Algooth Putranto/JIBI/Bisnis Indonesia | Dilihat:
642 Kali
Romo Casutt (JIBI/SOLOPOS/dok)
Dunia pendidikan, khususnya pendidikan teknik, ditinggalkan
Romo Johann Balthazar Casutt SJ, yang meninggal dunia dalam usia 86 tahun,
Jumat (24/8/2012). Sang Romo dikenal sebagai mantan pimpinan serta salah satu
pengembang SMK St Mikael dan Akademi Teknik Mesin Industri(ATMI) di Karangasem,
Solo.
Perjalanan hidup biarawan Ordo Jesuit ini sangat menarik
untuk dilihat. Laki-laki kelahiran Horgen, Swiss, 24 Januari 1926 ini
menamatkan pendidikan dasarnya diselesaikan di Horgen, Zurich, Swiss, hingga
kelas enam, lalu pindah ke sekolah asrama di desa turis Engelberg yang dikelola
Ordo Benediktin.
Selama delapan tahun Casutt belajar di situ hingga lulus dari
Gymnasium dan pindah ke Chur pada1945 untuk belajar filsafat dan teologi. Tahun
kedua dia ikut retret agung dari Ignatius Loyola. “Saya merasa terpanggil untuk
masuk ordo Jesuit dan berkarya di tanah misi. Tentu saja orang tua tidak begitu
senang dengan pilihan saya, toh [mereka] tidak menghambat,” ujarnya.
Masa novisiat (suatu proses menjadi rohaniwan Jesuit)
dijalaninya di Rue, Fribourg, selama dua tahun. Sekitar 1949 dia dikirim ke
Inggris untuk belajar filsafat selama tiga tahun. Sesudah itu Casutt harus ke India
namun visanya ditolak. Dia kemudian belajar teologi di Eegenhoven, Belgia.
Pada akhir 1955, Casutt ditahbiskan menjadi imam dan dikirim
untuk tahap pendidikan terakhir ke Muenster, Westphalia, Jerman. Di situ dia
menerima surat dari provinsial (pimpinan biara) yang menawarkan Indonesia
sebagai tempat kerja. Dua tahun kemudian dia berangkat ke Indonesia. Dalam
perjalanan menuju Indonesia dia sempat mengunjungi India selama 14 hari, ke
daerah Pune yang saat itu mengalami musim kemarau.
“Semua kering, tidak ada yang hijau dan di mana-mana ada
debu. Saya ingat ketika kapal terbang melayang di atas Jakarta, saya merasa
lega karena di mana-mana hijau,” ungkapnya dalam sebuah wawancara dengan Bisnis.com.
Untuk beberapa hari dia tinggal di Kolese Kanisius dan meneruskan perjalanan ke
Jogja untuk belajar bahasa Indonesia, lalu pindah ke Mertoyudan, Magelang, dan
tinggal selama delapan tahun.
Pada 1962, Casutt mulai mengurus izin sebagai WNI tetapi
terkatung-katung cukup lama. Sekitar 1965 dia pindah lagi ke Asrama Mahasiswa
Realino di Jogja. Hingga pada 1971 dia harus meninggalkan dunia mahasiwa dan
mengambil alih pimpinan STM dan ATMI St Mikael dari Romo Chetelat. “Terus
terang saya merasa berat tanggung jawab yang harus dipikul. Karena saya tidak
disiapkan untuk itu. Tanggung jawab besar, karena sekolah itu disiapkan dengan
cukup banyak uang,” tuturnya.
Selama 29 tahun dia memimpin sekolah itu. “Dari 75 mahasiwa
kami mengembangkannya sampai lebih dari 300 mahasiswa. Dari sekolah yang
defisit hingga menjadi sekolah yang mandiri dan untung,” katanya. Casutt, yang
senantiasa meyakini kemampuan murid-muridnya, pernah langsung turun tangan
memasarkan hasil karya siswa ATMI dengan menumpang mobil bak terbuka ke daerah
Glodok, Jakarta.
Akhir 2000, dia menyerahkan pimpinan ATMI kepada Romo
Triatmoko. Tampaknya dia memang tak punya pilihan karena kondisi kesehatannya
menurun. Sejak akhir 2004 dirinya terkena stroke. “Menurut saya ini suatu tanda
bahwa saya harus berhenti dan meninggalkan sekolah ini kepada orang yang lebih muda,”
katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar